Ketika orang-orang kafir menyalib Khubaib bin Adyadi atas pohon kurma sebelum membunuhnya, dia sama sekali tidak takut dan gentar. Bahkan dengan mata tajam, ditatap orang-orang kafir sambil berkata:
"Sekelompok pasukan bersekutu berkumpul di sekelilingku dan membentuk satu kumpulan besar. Mereka merasa senang dengan kabilah-kabilah mereka."
"Hanya kepada Allah aku berkeluh kesah tetapi bukan kerana serang yang dilancarkan musuhku pada saat bertempur."
"Aku tidak peduli dengan cara apa aku mati, selama aku mati dalam keadaan Muslim kerana semuanya tetap kembali kepada Allah. Semoga dia memberkati pada setiap tulang dan daging yang tercincang."
Demikian juga Saad bin Abi Waqqash RA ketika menemui raja Parsi. Dengan gagah dia berkata:
"Aku akan datang dengan suatu pasukan yang sangat mencintai kematian, sebagaimana kamu semua cinta pada kehidupan."
Dalam peperangan Uhud, ramai kaum Muslimin terbunuh sementara anak panah pasukan kafir begitu deras menyerang Rasulullah SAW. Saat itu Abu Thalhah RA membuka dadanya menjadi benteng Rasulullah SAW. Dia berkata,
"Wahai Rasulullah, anak panah itu tidak akan mengenaimu. Kami akan mengorbankan diri kami, agar engkau tidak terkorban."
Ya, selama kematian membawa keredhaan Allah, ucapkanlah selamat datang kepadanya.
Berbeza dari orang soleh, ahli maksiat dan mereka yang tenggelam dalam syahwat dan kenikmatan dunia amat takut menghadapi kematian. Mereka tidak pernah mengingatinya kerana ketakutan yang luar biasa. Padahal sepatutnya, Allah SWT lebih mereka takuti dari yang lain.
Kematian tidak memilih anak kecil atau dewasa, kaya atau miskin, hamba atau raja.
Harun ar-Rasyid adalah pemerintah yang berkuasa dan mempunyai banyak tentera. Dia pernah mengangkat kepalanya dan berkata kepada awan,
"Turunkanlah hujan di India atau di Cina atau sesukamu. Demi Allah, seluruh bumi yang engkau turunkan hujan diatasnya adalah wilayah kekuasaanku."
Suatu hari, Harun ar-Rasyid pergi berburu. Di tengah perjalanan dia bertemu dengan seseorang yang bernama Bahlul. Harun berkata,
"Berilah aku nasihat, wahai Bahlul." Lalu lelaki itu berkata,
"Wahai Amirul Mukminin, di manakah bapa dan abangmu sejak dari Rasulullah hingga bapamu?" Harun menjawab,
"Semuanya telah mati."
"Dimanakah istana mereka?" Tanya Bahlul
."Itu istana mereka," jawab Harun. "
Di mana kubur mereka?" "Ini, disini kubur mereka," jawab Harun. Bahlul kemudian berkata
"Di situ istana mereka, disini kubur mereka. Bukankah sekarang istana itu sedikit pun tidak memberi manfaat bagi mereka?"
"Kamu benar. Tambahlah nasihatmu, Bahlul," kata Harun.
"Wahai Amirul Mukminin, engkau diberi kuasa atas perbendaharaan Kisra dan umur yang panjang. Apa yang dapat kau lakukan? Bukankah kubur adalah perhentian terakhir bagi setiap yang hidup, kemudian engkau akan dihadapkan tentang berbagai masalah?" "Tentu," kata Harun.
Setelah itu Harun pulang dan jatuh sakit tidak lama kemudian. Setelah beberapa hari menderita, sampailah ajal menjemputnya. Dalam detik-detik terakhirnya, dia berteriak kepada pegawainya,
"Kumpulkan semua tenteraku."
Tidak lama kemudian datanglah mereka ke hadapan Harun lengkap dengan pedang dan perisai. Sungguh ramai sehingga tidak ada yang tahu jumlahnya kecuali Allah. Semuanya dibawah arahan Harun.
Melihat mereka, Harun menangis dan berkata,
"Wahai Zat yang tidak pernah kehilangan kuasa, kasihanilah hambaMu yang telah kehilangan kuasa ini."
Tangisan itu tidak berhenti sehingga ajal mencabut nyawanya. Setelah meninggal, khalifah yang memiliki kekuasaan yang sangat besar ini, tinggal di lahad yang sempit. Tiada menteri menemaninya, tiada kawan yang menyertainya. Dia tidak dikuburkan bersama dengan makanan, juga tiada pembaringan disediakan baginya. Harta dan kuasanya tidak berguna lagi.
Dalam sebuah kitab karangan 'Ustman bin Hasan bin Ahmad Asy-Syaakir Alkhaubawiyi, seorang ulama yang hidup dalam abad ke 13 Hijrah, menerangkan bahawa sesungguhnya
Allah s.w.t. telah menciptakan akal, maka
Allah s.w.t. telah berfirman yang bermaksud : "Wahai akal mengadaplah engkau." Maka akal pun mengadap kehadapan
Allah s.w.t., kemudian
Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud : "Wahai akal berbaliklah engkau!", lalu akal pun berbalik.
Kemudian
Allah s.w.t. berfirman lagi yang bermaksud : "Wahai akal! Siapakah aku?". Lalu akal pun berkata, "
Engkau adalah
Tuhan yang menciptakan aku dan aku adalah hamba-
Mu yang daif dan lemah."
Lalu
Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud : "Wahai akal tidak
Ku-ciptakan makhluk yang lebih mulia daripada engkau." Setelah itu
Allah s.w.t. menciptakan nafsu, dan berfirman kepadanya yang bermaksud : "Wahai nafsu, mengadaplah kamu!". Nafsu tidak menjawab sebaliknya mendiamkan diri. Kemudian
Allah s.w.t. berfirman lagi yang bermaksud : "Siapakah engkau dan siapakah
Aku?". Lalu nafsu berkata, "Aku adalah aku, dan
Engkau adalah
Engkau."
Setelah itu
Allah s.w.t. menyiksanya dengan neraka jahim selama 100 tahun, dan kemudian mengeluarkannya. Kemudian
Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud : "Siapakah engkau dan siapakah
Aku?". Lalu nafsu berkata, "Aku adalah aku dan
Engkau adalah
Engkau."
Lalu
Allah s.w.t. menyiksa nafsu itu dalam neraka Juu' selama 100 tahun. Setelah dikeluarkan maka
Allah s.w.t. berfirman yang bermaksud : "Siapakah engkau dan siapakah
Aku?". Akhirnya nafsu mengakui dengan berkata, " Aku adalah hamba-
Mu dan
Kamu adalah tuhanku."
Dalam kitab tersebut juga diterangkan bahawa dengan sebab itulah maka Allah s.w.t. mewajibkan puasa.
Dalam kisah ini dapatlah kita mengetahui bahawa nafsu itu adalah sangat jahat oleh itu hendaklah kita mengawal nafsu itu, jangan biarkan nafsu itu mengawal kita, sebab kalau dia yang mengawal kita maka kita akan menjadi musnah.
Eight Things to Learn
One time a scholar asked one of his students, "You have spent a long time with me, what have you learned?"He said I learned eight things:
1) First, I looked to the creation. Everyone has a loved one. When he goes to the grave, he leaves his loved one. Therefore, I made my loved one my good deeds; that way, they will be with me in the grave.
2) Second, I looked to the verse, "But as for him who feared to stand before his Lord and restrained his soul from lust," therefore, I struggled against my desires so I could stay obeying Allah.
3) Third, I saw that if anyone has something with him that is worth something, he will protect it. Then I thought about the verse,"That which you have is wasted away; and that which is with Allah remains," therefore, everything worth something with me I devoted to Him so it would be with Him for me.
4) Fourth, I saw the people seeking wealth, honor and positions and it was not worth anything to me. Then I thought about Allah's words, "Lo, the noblest of you in the sight of Allah is the most aware of Allah, so I did my best to become aware of Allah in order to gain nobility in his sight.
5) Fifth, I saw the people being jealous towards each other and I looked at the verse, "We have apportioned among them their livelihood in the life of the world", so I left jealousy.
6) Sixth, I saw the people having enmity and I thought about the verse, "Lo, the devil is an enemy for you, so take him as an enemy", so I left enmity and I took the Satan as my only enemy.
7) Seventh, I saw them debasing themselves in search of sustenance and I thought about the verse, "And there is not a beast in the earth but the sustenance thereof depends on Allah", so I kept myself busy with my responsibilities toward Him and I left my property with Him.
8) Eighth, I found them relying on their business, buildings and health and I thought about the verse, "And whosoever puts his trust in Allah, He will suffice him", therefore, I put my trust only on Allah.
If you want the Rainbow, you got to put up with the rain....
(adapted from www.livingislam.org)